shareapic.com

Kamis, 11 November 2010

Berusaha untuk menangis (Tabaki)


by Imam P Hartono Full on Thursday, September 16, 2010 at 7:32am

Nabi Muhammad SAW sering menyuruh sahabat-sahabatnya untuk membacakan Alquran baginya. Beliau mendengarkannya baik-baik. Para sahabat ikut menyaksikan, perlahan-lahan air mata berkumpul di sudut mata Rasulullah SAW, kemudian melimpah mengaliri wajah hingga membasahi janggutnya.

’Aisyah ra bercerita tentang peristiwa yang disebutnya sebagai “yang paling mempesona dari kehidupan Nabi”.

Nabi SAW bangun tengah malam, mengambil wudhu, melakukan shalat malam. Baru saja ia sampai pada bacaan Alquran, beliau terisak-isak,  menangis sepanjang shalatnya, sehingga ’Aisyah melaporkan. “Ia menangis sampai janggutnya basah oleh air matanya.

Diriwayatkan pada suatu hari, Nabi SAW sendiri membacakan akhir surat Al-Zumar ayat 71: “Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan…” ke hadapan sekelompok orang Anshar. Mereka menangis kecuali seorang pemuda di antara mereka.

Ia berkata, “Ya Rasulallah, saya berusaha untuk menangis, tapi air mataku tak keluar.”

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menangis tetapi air matanya tidak keluar, baginya surga.”

Kepada Abu Dzar dan sahabat-sahabat yang lain, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika kamu mampu menangis, menangislah. Jika tidak, rasakanlah dalam hatimu kesedihan. Berusahalah untuk menangis karena hati yang keras jauh dari Allah.”

Tabaki, berusaha untuk menangis, dianjurkan Nabi untuk melembutkan hati.
Allah swt sendiri menggambarkan orang-orang saleh dengan menyebutkan, “Bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih, mereka rebah bersujud dan menangis.(Q.S. Maryam: 58), mereka merebahkan diri atas muka mereka sambil menangis dan bertambahlah kekhusyukan mereka” (Al-lsra: 109).

Mereka dengan mudah menangis, karena hati mereka sudah sangat lembut. Tetapi kepada orang biasa, yang sukar menangis, Nabi menasihatkan untuk tabaki.

Apakah dengan demikian Islam mengajarkan kecengengan, keputusasaan, ketidakberdayaan? Apakah Islam menanamkan pesimisme dari Schopenhauer dan bukan ketabahan, kesabaran, dan keuletan?

Karena rentetan pertanyaan ini, sebagian ulama seperti al-Sakhawi, mem-bid’ah-kan tabaki. Namun, Sayyid Rasyid Ridha yang dikenal sebagai penentang bid’ah yang paling militan, menolak anggapan ini. Ia menyatakan bahwa menangis dan merekayasa diri supaya menangis sehingga khusyuk sangat baik dilakukan.

Ia mengutip Sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Alquran ini diturunkan dengan kesedihan dan kepedihan. Jika kamu membacanya, menangislah. Jika tidak mampu menangis, berusahalah untuk menangis.

Yang buruk ialah menangis atau berusaha untuk menangis karena riya’ untuk tujuan selain Allah. Anda menangis atau pura-pura menangis buat memberi kesan kepada orang lain bahwa Anda orang yang khusyuk. (Al-Manar Juz VIII: 31)

Dalam Islam, menangis bukan lambang keputus-asaan. Menangis adalah mengungkapkan kelembutan hati untuk menerima petunjuk Tuhan.

Diriwayatkan, Syibli pernah mendengar ayat “Dan ingat kepada Tuhanmu ketika Engkau lupa” (QS 18:23). Kemudian Ia berkata, “Ingat kepada Allah membuat orang lupa kepada dirinya. Seluruh dunia berhenti ketika mengingat-Nya.” Ia berteriak, menjerit, dan pingsan. Ketika siuman lagi, ia berkata, “Aku heran pada pendosa yang mendengar kalam Allah tetapi hatinya tak tergetar.”

Selain mengungkapkan kelembutan hati, tangisan juga menunjukkan kasih sayang pada sesama manusia, keterlibatan pada tragedi kemanusiaan. dan kepekaan kepada penderitaan orang lain.

Ketika Nabi SAW ditegur karena menangisi kematian puteranya, Ibrahim, Abdurrahman ibn Auf berkata, "Engkau juga menangis wahai Rasul".Nabi  SAW menjawab, "Ini adalah rahmat Tuhan". Sabdanya, "Air mata berlinang, hati terkoyak-koyak kesedihan, namun kami tak akan berkata kecuali yang diridhai Allah. Wahai anakku Ibrahim, sungguh kami sedih atas perpisahan ini."

Ketika  sepupu Rasulullah, Ja'far bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi Al-Quraisyi, syahid dalam perang Mut'ah dengan tubuh yang tercabik-cabik, Rasulullah SAW memerintahkan, “Buat orang seperti Ja’far hendaklah orang-orang menangis.” Inilah tangisan untuk melibatkan diri dalam perjuangan membela kebenaran.

Ketika Sa’ad bin Mu’adz al-Anshari memperlihatkan tangannya yang melepuh karena memecah batu sebagai mata pencahariannya, Nabi SAW seketika meneteskan air mata. Beliau SAW mengambil tangan kasar itu dan menciumnya, seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.” Nabi SAW sering menangis karena kepekaannya kepada penderitaan orang-orang kecil.

Tangisan Nabi SAW dalam shalat mendekatkannya kepada Allah. Tangisannya di tengah-tengah masyarakat mendekatkannya kepada umat manusia. Karena itulah ia mengajarkan kita untuk belajar menangis. Tetapi, mengapa kita perlu menangis sekarang ini?

Kebudayaan sebagian dari kita ditegakkan di atas komedi. Kita menyewa orang supaya bisa tertawa terpingkal-pingkal. Kita melihat siaran Televisi yang isinya membuat kita tertawa lepas. Kita membeli literatur yang membuat kita terpingkal-pingkal. Lucunya sebagian kita mengidolakan pejuang-pejuang dagelan. Kebudayaan kita menunggu "the Birth of Tragedy". Dalam bahasa Nietszche, kita merindukan kedatangan kembali kebudayaan "Diaposian" yang melihat tragedi sebagai cara untuk meningkatkan kualitas rohani kita. Di sini, tangisan adalah-sekali lagi dalam bahasa Nietszche-optimisme tragis. Kita sekarang sedang tenggelam dalam budaya Apolonia, dan mendewakan kegersangan intelektual dan perhitungan untung-rugi. Kita mengejar-ngejar kesenangan yang menyedihkan, sebutlah, dalam bahasa kita sendiri, pesimisme komedis.  
Demi kemanusiaan kita, marilah kita belajar menangis (Tabaki) di tengah gelak-tawa. Bagi Anda yang sukar menangis, Muhammad Iqbal, filsuf Islam dari anak benua India, memberi nasihat, “Bacalah Alquran seakan-akan dia diturunkan untuk kamu!”.

Supaya anda bisa menangis, masukkan ke hati anda bahwa Tuhan sedang menyapa anda , berdialog dengan anda , dan menjawab semua pertanyaan anda .Wallahualam bissawab

(diinspirasi dari tulisan  Fikri Yathir dengan sedikit tambahan)

Bârakallâhu lî wa lakum,
Matur syukran n Terima kasih.
Semoga Bermanfaat ya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar