shareapic.com

Jumat, 12 November 2010

Menghormati Tamu Dalam Islam


Sahabatku,
Para pakar hadis, seperti Ibn Hajar al-Asqalani, Imam al-Nawawi, dan juga al-Manawi, sependapat bahwa menghormati tamu tergolong adab Islam, akhlak para nabi, dan tata krama orang-orang mulia. Dalam tradisi Islam, penghormatan terhadap tamu dilakukan antara lainmenunjukkan wajah ceria dan semringah, bertutur kata dengan lemah lembut {thib al-kalam), menyediakan jamuan makan-minum dengan sebaik-baiknya, serta hangat dan menunjukkan rasa persahabatan.

Islam mengajarkan setiap Muslim agar membangun hubungan baik, tidak saja dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia. Keharusan menghormati tetangga dan juga tetamu merupakan wujud dari doktrin sosial dan kemanusiaan Islam.

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, muliakan-lah tamunya." (HR Muslim).

Dalam riwayat lain, terdapat tambahan kata, "Penyambutan terbaik diberikan sehari semalam, sedangkan waktu penyambutan (penjamuan) adalah tiga hari. Penyambutan di luar itu adalah sedekah." (HR Bukhari dari Abi Syuraih).

Para pakar hadis, seperti Ibn Hajar al-Asqalani, Imam al-Nawawi, dan juga al-Manawi, sependapat bahwa menghormati tamu tergolong adab Islam, akhlak para nabi, dan tata krama orang-orang mulia. Para ahli hukum Islam, seperti Imam Malik, Imam Syafii, dan Abu Hanifah, memandang bahwa memuliakan tamu sebagai sunah, sementara al-Laits dan Imam Ahmad melihatnya sebagai wajib.

Penerimaan tamu dengan cara yang istimewa adalah satu sifat keistimewaannya yang menyolok dari Yang Mulia Rasulullah s.a.w., bahkan sebelumnya beliau diangkat menjadi Nabi pun.  Orang-orang Arab itu adalah orang-orang yang sangat menghormati kepada para tamu; tetapi kualitas yang terdapat pada diri Nabi s.a.w. ini memiliki kemegahan yang lebih besar. Ketika beliau menerima wahyu Ilahi yang pertama kalinya, beliau pulang ke rumah dengan perasaan yang sangat gelisah, yang merasa masygul dengan pengalaman pertamanya itu. Siti Khadijah r.a., istri beliau menenteramkan dan menghiburnya. Ia mengatakan Tuhan tidak akan menghinakan beliau karena beliau itu adalah seorang yang sangat baik di dalam memenuhi kewajiban dan memenuhi kebutuhan saudara dan keluarganya, berusaha menolong menyelesaikan permasalahan mereka, menegakkan ahlak moral tinggi yang sudah ditinggalkan oleh orang, menerima tamu dengan baik,  menolong orang-orang miskin dan yang berkekurangan, maka betapa Tuhan akan menyia-menyiakan beliau? Dari sini disebutkan perihal penerimaan tetamu, di antara kualitas kebaikan beliau lain-lainnya, ini menunjukkan kepada kita bahwa di situlah keistimewaan beliau yang menonjol dibandingkan dengan orang-orang lainnya. Memang, setelahnya beliau menjadi Nabi, sifat kualitasnya ini terus meningkat dan menjadi sempurna.

Yang Mulia Rasulullah s.a.w. tidaklah hanya menghormati para tamunya dengan penyediaan makanan yang baik saja, tetapi beliau pun memperhatikan keperluan-keperluan kecil dari para tamunya, dengan membawanya sendiri kepada mereka itu. Beliau menasihati kepada para pengikutnya untuk melakukan yang sama dan mengatakan, jika engkau menyatakan mencintaiku, maka ikutilah aku.

Penerimaan tamu yang secara baik itu beliau lakukan dengan tanpa berharap untuk memperoleh balasan kebaikan atau pujian, tetapi dikerjakannya itu hanyalah semata-mata untuk mentaati perintah dari Tuhan. Beliau menasihatkan untuk menerima dan menghormati para tamu dengan cara yang istimewa untuk selama tiga hari apa yang diperlukan oleh para tamu. Beliau mengatakan, jika orang itu percaya kepada Tuhan dan Hari Kiamat, maka orang itu haruslah menghormati para tetamunya. Penerimaan tamu oleh Nabi s.a.w. itu dikerjakan dengan penuh kegairahan dan semangat dalam pengkhidmatannya itu, tetapi beliau juga melaksanakannya untuk dijadikan contoh dari ajaran Islam kepada orang-orang dari agama atau kepercayaan lain atau orang-orang yang tidak beragama juga. Jadi, kita lihat bahwa adab penerimaan tamu ini bukan hanya sekedar untuk kesejahteraan pisik dan duniawi para tamunya itu saja, tetapi juga untuk kesejahteraan rohani atau spiritual mereka. Ini juga adalah ajaran yang beliau s.a.w.  tanamkan kepada para pengikut beliau.

Satu kali, seorang tamu yang belum beriman datang kepada Yang Mulia Rasulullah s.a.w.. Nabi s.a.w. membawakan susu dari seekor kambing untuk disuguhkan kepadanya. Tamu ini meminum habis susu tersebut. Demikianlah semangkuk dan semangkuk susu terus disuguhkan kepada tamunya itu –atas permintaan tamunya- sampai ada 7 mangkuk susu dari 7 ekor kambing yang semuanya habis diminumnya. Orang tersebut merasa amat terkesan sekali atas tingkat penghormatan pada tamu ini yang dikerjakan Nabi s.a.w. dengan tanpa ragu-ragu dan tanpa mengharapkan balasan. Pada keesokan harinya orang tersebut menerima dan masuk Islam. Jadi, lagi-lagi, beliau harus mengambil susu lagi untuk diberikan kepada orang tersebut, yang meminumnya sampai habis dan masih belum merasa kenyang dengan dua kali tambah.

Setelah itu, Yang Mulia Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa seorang beriman itu akan merasa kenyang dengan satu mangkuk sedangkan seorang yang belum beriman baru kenyang dengan meminum tujuh mangkuk. Huzur aba. menerangkan bahwa suguhan-suguhan itu pertama-tamanya diberikan untuk memenuhi kebutuhannya dan hanya ketika orang ini sudah menolak untuk minum susu lebih banyak lagi, maka barulah Nabi s.a.w. berkata dan memberitahu kepada orang tersebut, tentang kedudukan apa yang akan diperolehnya dengan masuk ke dalam Islam.

Satu kali, sebuah delegasi utusan dari Kaisar Najasyi datang berkunjung. Yang Mulia Rasulullah s.a.w. membawakan hidangan bagi tamu ini yang dikerjakannya sendiri. Para Sahabat beliau bertanya mengapa Nabi s.a.w. sendiri yang harus melakukan hal itu padahal di sana ada Sahabat-sahabat beliau yang siap untuk mengerjakannya. Nabi s.a.w. menjawab bahwa orang-orang Najasyi itu telah menghormati orang-orang Muslimin, maka oleh karena itu beliau s.a.w. ingin membawakan sendiri hidangan bagi mereka itu sebagai balasan atas kebaikan mereka.
Satu kali, seorang Yahudi yang sedang bertamu, dikarenakan sakit ia ngompol dan mengotori tempat tidurnya dan mungkin karena malunya ia langsung meninggalkan tempat itu. Yang Mulia Rasulullah s.a.w. membersihkan sendiri bekas tempat tidurnya itu. Orang Yahudi itu ketinggalan sesuatu sehingga harus kembali lagi. Ketika orang tersebut melihatnya bahwa Nabi s.a.w. sendiri yang sedang membersihkan bekas tempat tidurnya yang ia basahi dan kotori itu, maka ia merasa sangat malu. Ia mengatakan, ia ingin masuk Islam. Satu kali, datang seorang musafir kepada Yang Mulia Rasulullah s.a.w. di mana beliau mengirimkan pesan ke rumah beliau untuk mengirim makanan. Jawaban dari rumahnya mengatakan tidak ada apa-apa di rumah kecuali air. Nabi s.a.w bertanya kepada Sahabat, siapa yang bisa menyediakan makanan. Seorang Anshar mengatakan ia bisa. Ketika Anshar itu pulang ke rumahnya dan minta istrinya untuk menyiapkan makanan bagi tamu, istrinya mengatakan hanya ada makanan yang cukup bagi anak-anak saja.  Ia mengatakan kepada istrinya untuk menyalakan lampu dan anak-anaknya supaya disuruh untuk tidur. Ketika makanan sudah masak dan tamu datang, maka ia bangkit dan pura-pura menyetel lampu tetapi justru ia mematikannya. Ia dan istrinya berpura-pura ikut makan di dalam kegelapan dan sementara itu tamu pun makan sampai kenyang. Esok harinya, ketika Anshar berjumpa dengan Yang Mulia Rasulullah s.a.w., Nabi s.a.w. tertawa dan mengatakan, “caranya engkau berperi-laku tadi malam itu telah membuat Allah tertawa”.

Setelah peristiwa itulah maka Allawh swt mewahyukan ayat berikut ini :

 “……..وَلَا يَجِدُوْنَ فِىْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّاۤ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ؕ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ
….. wa laa yajiiduuna fii shuduurihim haajatam mim maa utuu wa yu’tsiruuna ‘alaa anfusihim wa lau kaana bihim khashaashatuw wa man yuuqa syuhha nafsihii fa ulaa-ika humul muflihuun’ – “ …….  dan mereka tidak mendapati sesuatu keinginan di dalam dada mereka mengenai apa yang diberikan kepada mereka itu, tetapi mereka mengutamakannya di atas diri mereka sendiri, walaupun kemiskinan sedang melanda mereka. Dan barang siapa dapat mengatasi keserakahan dirinya, maka mereka itulah yang akan berhasil.” (Al Hasyr, 59:10).

Sahabatku,
Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk menghormati tamu. Tapi bagaimana menghormati tamu? Bagaimana batas-batas menghormati tamu? Rasulullah sebagai sosok yang memerintahkan kita untuk menghormati tamu telah mencontohkan bagaimana menghormati tamu? Beliau lebih baik tidak duduk di atas bantal, asalkan tamunya duduk di atas bantal.

Contoh kedua pun mencontohkannya demikian. Tuan rumah tidak makan, tidak menjadi masalah asalkan tamu dapat dijamu.

Sahabatku,
Dalam tradisi Islam, penghormatan terhadap tamu dilakukan antara lainmenunjukkan wajah ceria dan semringah, bertutur kata dengan lemah lembut {thib al-kalam), menyediakan jamuan makan-minum dengan sebaik-baiknya, serta hangat dan menunjukkan rasa persahabatan. Penghormatan juga dilakukan dengan mengunjungi {al-ziyarah), memberikan kenang-kenangan, dan memenuhi apa yang menjadi keperluannya.

Menurut Ibn Taimiyah, penghormatan belum sah dilakukan manakala tuan rumah tidak sanggup memenuhi segala kebutuhan tamunya. Meskipun demikian, dalam adab Islam, seorang tamu tidak boleh arogan dan mesti tahu diri. Nabi Muhammad SAW melarang seorang Muslim bertamu ke rumah saudaranya kalau hal itu dapat memberatkannya, bahkan men-jerumuskannya ke dalam dosa dan maksiat (Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi).

Islam mengajarkan kepada kita untuk menghormati tamu bersifat terbuka. Kita diperintahkan menyambut dan menghormati tamu tanpa harus membeda-bedakan orang kaya atau miskin dan pejabat atau orang biasa1. Penghormatan itu diberikan atas dasa keadilan dan kesetaraan (egalitarianisme) dalam semangat pergaulan antarmanusia sejagat.
Inilah sesunguhnya makna firman Allah. "Hai, manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan se-orang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu." (QS Alhujurat [49] 13).

Sahabatku,
Menjamu tamu ternyata bukan perkara yang sepele. Sewaktu Adi bin Hatim menjadi tamu Rasulullah, dia masih beragama Nasrani. Dia amat kagum dengan perilaku Rasulullah yang begitu menghormati dirinya sebagai seorang tamu. Padahal saat itu, Rasulullah adalah seorang penguasa Madinah. Sampai-sampai Adi bin Hatim berujar, “‘Demi Allah! Raja/penguasa seperti apakah ini?”

Setelah kekaguman ini, terjadilah dialog antara Rasulullah dan Adi bin Hatim. Dialog ini berujung pada pilihan Adi bin Hatim untuk memeluk Islam .

Bagaimana andaikan kesan pertama dan kedua Adi bin Hatim terhadap Rasulullah tidak menyenangkan? Barangkali tidak akan terjadi dialog diantara mereka berdua.
Sebab kekaguman Adi pada perilaku Rasulullah dalam menjamu tamunya merupakan kesan baik Adi yang kedua kalinya. Kekaguman Adi yang pertama terhadap Rasulullah, yaitu ketika mereka berada dalam perjalanan menuju rumah Rasulullah.

Di dalam perjalanan, ada seorang wanita lemah dan tua menemui beliau saw. Wanita itu minta agar Rasulullah berhenti. Beliau pun berhenti di hadapannya dalam waktu yang cukup lama. Wanita itu berbicara panjang lebar mengenai kebutuhannya. Melihat keadaan ini, Adi berkata dalam hati, ‘Demi Allah! Raja/penguasa seperti apakah ini?” (Fikih Sirah, karya Ramadhan Al-Buthi)

Sekali lagi, bagaimana bila kesan pertama dan kedua Adi terhadap Rasulullah tidak baik? Bisa jadi tidak tercipta dialog diantara mereka.

Perilaku sahabat Rasulullah terhadap tamunya itu pun mendapat pujian dari Allah. Para pembaca bisa melihatnya dalam surat Al-Hasyr di atas. , “dan mereka mengutamakan, atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan/membutuhkan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr (59):9)
Adab menerima tamu dalam Islam

Adab Bertamu dalam Islam

1. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)

2. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ

“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

2. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.

3. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada tamunya.

4. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

5. Tidak mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.

6. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.

7. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,

فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ

“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)

8. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.

9. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.

10. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ

“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”

11. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

12.. Tidak mengkhususkan menjamu orang-orang kaya saja, dan tidak mau menerima tamu orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
Wallahualam bissawab

Bârakallâhu lî wa lakum, Matur syukran n Terima kasih.
Semoga Bermanfaat ya
Jakarta, 10 Nopember 2010
Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr.wb

Imam Puji Hartono/IPH(Gus Im)

"Utamakan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK dan SHALAT untuk akhiratmu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar